Rabu, 23 Mei 2012

KYA-KYA SURABAYA






Kya-Kya Surabaya adalah pasar malam di kawasan pecinan kota Surabaya, di sepanjang jalan Kembang Jepun, yang menjual berbagai macam makanan baik masakan Tionghoa, makanan khas Surabaya maupun makanan lainnya. Kata kya-kya diambil dari salah satu dialek bahasa Tionghoa yang berarti jalan-jalan.

Jalan Kembang Jepun (dulu bernama Handelstraat)...

Kembang Jepun dulunya adalah kawasan bisnis utama dan pusat kota Surabaya. Walaupun bukan menjadi yang utama, kawasan ini tetap menjadi salah satu sentra bisnis hingga saat ini. Kawasan ini terkenal sebagai pusat perdagangan grosir, yang kemudian dikenal sebagai CBD (central business district) I Kota Surabaya.

Kembang Jepun mempunyai sejarah panjang, sepanjang perjalanan Kota Surabaya. Perjalanannya penuh dengan rona-rona, sesuai warna yang dilukiskan zamannya. Sejak zaman Sriwijaya, kawasan di sekitar Kembang Jepun menjadi tempat bermacam bangsa tinggal.



Banyak pedagang asing yang menambatkan kapal-kapalnya di lokasi di mana kemudian menjadi Kota Surabaya. Di situ pulalah, perjalanan sejarah menorehkan garis membujur dari timur ke barat kota, Jalan Kembang Jepun. Tegak lurus dengan Kalimas, jalan ini juga menjadi ikon Kota Surabaya yang silih berganti tampil membawa perannya.

Pada zaman Belanda, pemerintahan saat itu membagi kawasan menjadi Pecinan di selatan Kalimas, kampung Arab dan Melayu di Utara kawasan itu, dengan Jalan Kembang Jepun sebagai pembatasnya. Bangsa Belanda sendiri tinggal di Barat Kalimas yang kemudian mendirikan komunitas "Eropa Kecil".

Jalan Kembang Jepun dulunya dinamakan Handelstraat (handel berarti perdagangan, straat artinya jalan), yang kemudian tumbuh sangat dinamis. Pada zaman pendudukan Jepang lah nama Kembang Jepun menjadi terkenal, ketika banyak serdadu Jepang (Jepun) memiliki teman-teman wanita (kembang) di sekitar daerah ini. Pada era di mana banyak pedagang Tionghoa menjadi bagian dari napas dinamika Kembang Jepun, sebuah Gerbang kawasan yang bernuansa arsitektur Tionghoa pernah dibangun di sini. Banyak fasilitas hiburan didirikan, bahkan ada yang masih bertahan hingga kini, seperti Restoran Kiet Wan Kie.

Pemerintah Kota Surabaya pernah berkeinginan untuk menjadikan kawasan Kembang Jepun menjadi semacam Malioboro tidak mendapat respons yang baik dari para pedagang kaki lima (PKL), bahkan oleh masyarakat Kota Surabaya sendiri. Akhirnya, kawasan ini mati kembali di malam hari, gelap gulita dan rawan kejahatan. Berbeda dengan keadaan siang hari yang sangat dinamis.

Melihat banyaknya ikon kota yang pelan-pelan meredup mati dan ditinggalkan warganya, muncullah ide untuk segera menyelamatkannya. Studi dan perencanaan awal hanya dilakukan 2 minggu, namun tidak mengurangi kualitas perancangan itu sendiri dengan melakukan studi lapangan dan studi literatur, diskusi dengan pemerintah kota, warga setempat, komunitas pedagang kaki lima bahkan studi banding ke luar negeri (Chinatown di Singapura). Studi-studi dan pelaksanaan dilakukan bersama-sama dengan tim eksklusif di bawah pimpinan Wali Kota Surabaya Bambang D. Hartono, demikian juga dengan pihak DPRD Surabaya di bawah pimpinan Armuji, dan PT Kya-Kya Kembang Jepun di bawah pimpinan Dahlan Iskan.

pusat Kya-kya ini akhirnya dirancang pada jalan sepanjang 730 meter, lebar 20 meter, menampung 200 pedagang (makanan dan non-makanan), 2.000 kursi, 500 meja makan dengan memerhatikan studi keamanan. Selain itu, studi perilaku warga Kota Surabaya, studi parkir dan transportasi, studi budaya (arsitektur setempat, genius loci), studi kelayakan ekonomis, teknis, sistem kebersihan, utilitas (saluran air, drainage, listrik, sistem suara, sampah), pemanfaatan SDM setempat, kerja sama dengan warga, LSM, potensi-potensi wisata (bangunan kuno, monumen bersejarah), dan sebagainya secara terpadu.

Kya-Kya Surabaya akhirnya berhasil diwujudkan. Secara resmi Kya-Kya Surabaya dibuka pertama kali pada tanggal 31 Mei 2003, bertepatan dengan hari ulang tahun kota Surabaya.

Lokasi Kya-kya Kembang Jepun tidak ada duanya ketika kawasan ini sarat dengan malam budaya, maka tatkala arsiteknya pun membawa the spirit of place, suguhan arsitektur Tiongkok adalah sebuah kemutlakan. Pementasan budaya yang berkualitas pun disuguhkan seperti festival ngamen, suguhan musik keroncong, musik klasik Tiongkok, hingga Barongsai anak-anak dan tari Ngremo Bocah. Sedangkan, acara-acara tematik digelar seperti Shanghai Night, Dancing on the Street, Agoestoesan Tjap Kya-kya Kembang Djepoen serta Mystical Night, Festival Bulan Purnama dan sebagainya.

Barisan mobil yang parkir di Kya-Kya yang gapuranya saja mempunyai berat 4 ton dan harus dikerjakan di Pantai Kenjeran ini tidak terlihat lagi. Jalanan yang dulu ditutup mulai jam 18.00 hingga 02.00 dini hari ini kini sudah tampak lengang dan sepi. Jangankan pengunjung, kendaraan lewat pun sangat jarang. Yang tampak ramai di tengah malam malah pasar ikan tradisonal Pabean yang sudah ada sedari dulu.

Apa yang terjadi dengan ikon jajanan (yang sempat jadi) kebanggaan kota Surabaya itu?

Banyak analisis diajukan tentang runtuhnya kemegahan obyek wisata yang menghabiskan dana miliaran rupiah ini. Mulai dari analisis logis sampai mistis. Entah mana yang benar. Bisa salah satunya, bisa semuanya, atau tidak samasekali.

Salah satu analisis tentang nasib kya-kya yang merana ini dikemukakan oleh A. Halim, pedagang nasi krawu “Ibu Hj. Suliha” yang sudah berdagang jauh sebelum Kya-kya berdiri pada tahun 2003. Menurutnya, yang menjadi salah satu faktor runtuhnya kya-kya adalah harganya yang terlalu mahal. ”Bayangkan, untuk segelas es teh saja kita mesti mengeluarkan uang antara 3.000-5.000 rupiah. Pertama kali orang oke-oke saja, tapi selanjutnya? Mereka akan berpikir dua kali, apalagi jika mereka menganggap kualitas jajanan di Kya-Kya sama dengan yang ada di luar,” terangnya ke saya.

Para pedagang saat itu menggunakan aji mumpung. Mumpung booming. Mumpung ramai pengunjung. Mereka tidak memikirkan bagaimana brand image yang terbangun di benak pengunjung. Bagi para turis mungkin tidak masalah harga mahal sedikit, namun bagi masyarakat Surabaya sendiri yang memang terbiasa dengan harga murah meriah tentu ini menjadi persoalan tersendiri. Apalagi jika mahalnya makanan tidak diikuti oleh kualitas barang dagangan.

Analisis kedua dikemukakan oleh Aan, pelanggan setia Kya-Kya dua tahun yang lalu. Menurut pria ini, letak parkir Kya-Kya terlalu jauh, ”Parkirnya ada di satu titik saja, sehingga untuk sampai ke tempat yang kita tuju, kita harus berjalan jauh.” Seharusnya, menurut Aan, letak parkir itu memanjang satu arah sepanjang Kya-Kya.

Analisis ketiga, seharusnya sepanjang area Kya-Kya harus ada atap yang bisa buka tutup. Jadi bila keadaan langit malam cerah bisa dibuka, tapi bila hujan turun atap bisa ditutup. “Sekarang kan tidak, saat hujan turun para pedagang harus berlarian mengamankan barang dagangannya dari hujan. Lah pengunjung kan juga ikut bingung! Harus berteduh dimana?” Wawan, seorang pelanggan Kya-Kya awal yang juga menjadi karyawan J.W. Marriot Surabaya, bertanya-tanya.

Analisis keempat, berkaitan dengan mistik. “Kya-Kya Kembang Jepun itu kualat, Mas. Masak jalan ke arah (makam Sunan) Ampel ditutup?” kata Halim lagi. Memang benar jalan yang ditutup saat Kya-Kya Kembang Jepun berdiri salah satunya adalah akses menuju Masjid Ampel yang dikeramatkan oleh sebagian warga Surabaya khususnya dan Jawa TImur umumnya. Sehingga saat itu untuk pergi ke Ampel harus mengambil jalan memutar.

Tapi apapun itu, tampaknya pihak pengelola atau penanggung jawab tidak begitu peduli dengan nasib Kya-Kya yang sempat menjadi ikon kebanggaan warga Surabaya ini.

Tambahan: bila ada yg ingin mendownload game-game hd android bisa mampir di blog saya satunya yg beralamat di www.androgame21.blogspot.com

Published with Blogger-droid v2.0.4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar